LUKA ITU BAHAGIA (percaya, jika lukapun mampu mencipta BAHAGIA)

Bila kata rumah diucapkan, apa yang akan terlintas di benak kita?
Kenyamanan, ramah, canda tawa, dan berjuta ungkapan bahagia lainnya. Kita benar, begitulah semestinya istana itu adanya. Namun tak dapat di pungkiri, bila terkadang gesekan-gesekan kecil menyulut keributan di sana. Sebenarnya itu sangat wajar, bukankah pelangi indah sebab terdiri dari berbagai warna? Begitu juga dengan keluarga. Problematika yang hadir dapat menjadi perekat ikatan antara  mereka. Akan tetapi bagaimana bila kericuhan itu terus terjadi, mewarnai setiap sendi hari dalam keluarga kami, yang makin hari makin menjadi seakan enggan menemukan akhir. Ya, hal itulah yang menjadi alasan mengapa aku tak sanggup menamai rumahku sebagai istana, ia semata gubuk tempat berteduh dari terik matahari dan dinginnya malam. Sisanya hanya sebagai wadah bertemunya para manusia yang saling menganggap asing antara satu dengan lainnya.
Empat belas tahun silam, saat aku mulai paham apa itu pertengkaran, kata makian, dan hal menyakitkan lainnya. Aku memilih untuk mengasingkan diri dari rumah yang bak neraka itu. Bermain sendiri di luar rumah lebih aku sukai ketimbang harus bertemu lalu menyaksikan pertunjukan adu mulut mereka. Tidak, aku tak bermaksud menjelek-jelekkan keluarga sendiri, bukan pula ingin melupakan jasa mereka mentang-mentang diri sudah dewasa saat ini. Tapi kepedihan masa lalu itu agaknya terus mewarnai hariku hingga detik ini. Dan itu sebabnya sulit bagiku  untuk menghapus potret kelam keluarga kami.
Ayah adalah seorang pensiunan dari kantor pertanian tempat tinggalku. Diantara kami berempat, aku adalah yang paling dekat dengan ayah. Awalnya aku memang tak mengerti kenapa hanya diriku yang selalu di rumah, mengapa hanya aku yang berkomunikasi baik dengan ayah? jawaban itu kudapat dua tahun kemudian, saat usiaku sudah mencapai batas “cukup umur” untuk belajar memahami apapun. Ya, itu bermula tepat empat belas tahun lalu. Saat kulihat ibu yang biasanya berwajah dingin dan jarang sekali riang itu, sedang menangis di sudut dapur. Aku menghampiri, tapi hanya bisa mengulum kata yang sudah kuusahakan untuk keluar, ada apa gerangan. Di tengah kebingungan yang meradang, ibu memelukku dan kemudian memintaku untuk memasak nasi, tentu saja aku kaget. Bukankah tadi ayah sudah memasak nasi? lalu kenapa harus memasak dua kali. Apalah daya, sebagai bungsu yang masih di anggap terlalu kecil aku hanya menuruti kata-kata ibu.
Di dalam rumah kulihat ayah mengumpat dengan bahasa yang tak kumengerti sepenuhnya, aku tahu ayah sedang marah karena air muka beliau terlihat merona, tentu saja itu bukan karena malu atau lagi tersipu. Tangan ayah mengepalkan tinju, aku serasa berhenti bernafas.
Siang itu aku mengerti semuanya, aku paham sepenuhnya. Kenapa abang-abang suka mengindar untuk tetap betah di rumah, kenapa ibu menangis sampai sesegukan begitu, dan kenapa ada dua periuk nasi di rumah kami. Ya, kami kehilangan sesuatu yang berharga, harmonis rumah tangga. Aku telat menyadarinya, seketika aku merasa asing di antara mereka. Mungkin demikian pula dengan mereka. Sama-sama beranggapan tak memiliki peran di rumah ini, tempat yang semestinya jadi istana bagi kami.
Sudah masuk tahun ke sepuluh sejak ayah tiada, tapi kondisi masih tetap sama. Rumah itu benar-benar hampa warna, hanya tersisa hitam dan putih, tiada warna lain yang mengiringi. Bayangkan saja, selama aku mencium aroma dunia, selama itu pula kami tak pernah berkumpul secara lengkap meski sekedar bercengkrama satu sama lain, layaknya para keluarga tetangga yang selalu menyisihkan waktu sibuk mereka untuk bertatap muka di meja makan, atau ruang keluarga.
Dulu aku beranggapan hanya akan kehilangan figur ayah ketika melihatnya meninggalkan kami. Ternyata aku salah, bahkan figur keseluruhan mereka tak kutemui satupun hingga hari ini. Masing-masing sibuk mencintai diri sendiri. Tapi sangat tak suka bila di sebut acuh, cuek dan sebagainya. Karena terlalu lelah untuk menuntut, aku memutuskan menyepi sendiri. Berangkat dari hingar-bingar mereka menuju dunia baru.  Aku memilih meninggalkan kampung halaman dan kuliah di daerah luar pulau. Sia-sia rasanya menemukan surga dalam istana itu. ah, bukan rumah apalagi istana. Hanya sekedar gubuk renta yang tak pernah di kasihi penghuninya.
house doesnt mean a home. Ungkapan entah dari mana berasal. Atau jangan-jangan hanya aku yang menciptakan. Apapun itu aku meyakini benar ungkapan itu. Secara tata bahasa inggris, house adalah sebuah bangunan yang ditinggali oleh sekelompok manusia untuk bertahan hidup dan berlindung dari cuaca ataupun serangan binatang buas. Sedangkan home adalah bentuk sifat, tidak wujud, karena kepada siapapun kita merasa nyaman untuk kembali maka itu sudah dianggap home  bagi kita. Sekali lagi aku membenarkan definisi itu untuk diriku sendiri. Mungkin selama ini aku hanya menemukan sebuah house bukan home. Dan kurasa keluargaku juga beranggapan yang sama. Kenapa ayah sering marah, kenapa ibu suka menangis, kenapa abang-abangku senang di luar rumah? jawabannya bertemu pada satu titik, sebab kami belum menemukan definisi rumah yang sebenarnya.
Bagi kami rumah hanya untuk berlindung dari matahari dan cuaca dingin kala musim penghujan tiba. Bagi kami rumah adalah house, bukan home. Untuk hal itulah, aku sangat berharap bila masa depan merubahku jadi lebih baik, jika aku di takdirkan berperan sebagai seorang ibu dan istri. Sekali-kali tak akan kubiarkan rumahku menjadi sebuah gubuk reot yang luput dari kasih sayang dan kehangatan. Tak akan kuizinkan siapapun mengacaukan dan mengotori keharmonisannya. Sebab kau dan kita semua pun mengerti. Selayaknya ungkapan “rumahku surgaku”, rumah adalah tempat bertemunya cinta dan damai, terjalinnya kedekatan yang mengekal, serta wadah pembentukan generasi yang berkarakter.
Bila mempertahankan wadah kecil saja kita gagal, bagaimana mempertahankan wadah yang lebih besar dari itu nantinya?
Malang, 25 Juli 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AYAH, INI ARAHNYA KE MANA, YA?

MELAMBAT SAAT DUNIA BERGERAK CEPAT

Menemukan hakikat cinta dari Sang Pencinta