AYAH, INI ARAHNYA KE MANA, YA?
Sepertinya ini buku prosa pertama yang habis kubaca cukup sekali duduk saja. Buku ini milik perpustakaan sekolah.
Muridku merekomendasikannya untuk kubaca sampai selesai. Sekarang mari kita selami isinya ya.
Menurutku penulis berhasil menggambarkan proses kehidupan individu yang tumbuh tanpa sosok Ayah. Barangkali ada yang sempat bersama, tapi tidak dalam waktu yang lama. Seperti halnya diriku.
Dulu saat Ayah pamit untuk pergi selamanya. Aku belum memahami betul makna kehilangan. Sampai ketika usiaku menginjak remaja. Aku mulai paham. O, begini rupanya hidup tanpa Ayah. Disitu hari-hariku mulai berbeda. Ternyata jalan yang ku lalui begitu sunyi. Aku dan Ibu harus menapakinya sekuat yang kami bisa. Meskipun saudara laki-laki ku berhasil menggantikan peran Ayah sebagai penopang finansial keluarga. Tapi tetap saja. Ketidakhadiran Ayah membuat semuanya kurang sempurna.
"Sayangnya, kita gak sempat foto yang bagus ya, Ayah. Jadi aku sekarang cukup menyimpanmu di kepalaku saja. Dan di sana kau abadi" kutipan di buku ini membuatku sadar. Ternyata di kebersamaan kita yang amat sangat singkat. Aku tak pernah foto bersama ayah. Atau lebih tepatnya kita tidak punya foto keluarga. Sangat disesali memang. Tapi mungkin saja karena Tuhan tahu, aku punya ingatan yang sangat baik dalam memindai tiap jengkal wajah Ayah, untuk kusimpan dalam ruang khusus di ingatan.
Tak terasa. Hampir 20 tahun Ayah tak lagi bisa mendengar cerita receh yang ku punya. Tapi melalui kepergian Ayah. Aku paham bahwa kehilangan ternyata tidak sama dengan ketiadaan. Fisik Ayah memang tak lagi membersamai. Tapi cinta yang Ayah semai (bahkan sebelum aku ada di dunia) menemani perjalananku sampai hari ini. Tentu tak banyak petuah dan cerita Ayah yang bisa kukenang. Tapi dengan membayangkan bagaimana senyum Ayah di hari pertamaku lahir. Bagaimana Ayah menjaga putri satu-satunya ini. Bagaimana Ayah berbahagia karena gadis ciliknya bisa hafal do'a sesudah Adzan hanya berbekal menonton televisi saja, sudah lebih dari cukup untuk membuatku mengerti jika kita hanya berbeda alam, tapi tetap bertaut dalam ikatan yang kekal: Cinta dan kasih sayang.
Narasi yang termaktub di buku ini seakan jadi kotak kenangan yang dapat kuputar sewaktu-waktu. Kenangan yang di satu waktu bisa jadi pelipur rindu, namun di waktu lain mampu mengalirkan kekuatan. Di penghujung buku ini aku akhirnya memahami satu hal: Manusia akan selalu bersahabat dengan perubahan (dan itu sebuah keniscayaan). Dan kehidupan dengan ragam episodenya secara tak langsung mendorong kita untuk terus belajar dan terbiasa. Entah dari kehilanga, kesepian. keputus asaan, atau mungkin saja kebahagiaan.
Tidak ada yang benar-benar kekal selain Dia. Maka atas kefanaan inilah, kita perlu menempatkan diri sebagai individu yang siap bertarung dalam segala situasi. Karena disetiap kehilangan, akan ada yang menggantikan. Dan itu bisa saja berupa "kekuatan hati dan kebesaran jiwa menerima kejadian"
Kalau kamu masih bertanya
"Ayah, ini arahnya ke mana, ya?"
Nak. Percayalah.
Semua mata angin itu baik
Jadi, pergilah!
Tarik lagi lengan bajumu.
Ke mana pun kamu pergi nanti.
Taruh selalu Tuhan di dalam hatimu, ya.
Tuhan baik, mintalah semuanya.
-kutipan halaman 150 (terakhir) dari buku Ayah, ini arahnya ke mana, ya?
Komentar
Posting Komentar