Menemukan hakikat cinta dari Sang Pencinta
"Setiap perjalanan adalah langkah menuju kebijaksanaan. Banyak pembelajaran, nasihat, pengalaman yang bisa dibagikan"- Buya Husein.
Melalui safar 10 hari Buya Husein di Turki. Beliau merangkum hakikat cinta yang tersemat di tanah itu dan kemudian disajikan sebagai suguhan hangat nan penuh keindahan dalam buku ini.
Dari awal baca buku ini. Langsung jatuh cinta dengan pesona Istanbul dan Konya. Dua kota yang menyimpan banyak cerita. Kebetulan tahun 2019 aku pernah berkunjung ke Turki. Dan buncahan rindu untuk kembali rasanya sedikit terobati setelah membaca buku ini.
Jujur. Ini adalah salah satu buku yang saya hemat-hemat membacanya. Seakan tak rela jika habis dilahap dalam waktu singkat. Pesan cinta yang bertubi-tubi dimaktubkan membuat saya ingin mengulangnya lagi dan lagi.
Sepanjang kisah yang dikidungkan Buya. Kita seakan masuk dalam dimensi waktu berbeda. Seperti kembali lagi ke masa Rumi masih mengembara di tanah Turki. Saat beliau mendapat pencerahan dari Sang Guru Spiritual, Syams Tabridzi. Dua makhluk Tuhan yang telah larut dalam cinta Ilahi. Bahkan pada daratan yang mereka tapaki didirikan sebuah prasasti "Disinilah deburan air dari dua samudera bertemu dan menumpahkan rindu" 20 November 1244 M.
Memahami maksud cinta dari dua Sufi besar ini akan sangat berbeda dengan pemahaman cinta yang kita maknai hari-hari ini. Bagi mereka cinta adalah soal penyerahan diri sepenuhnya pada Sang Pemilik Cinta. Tahapan cinta mereka sudah sampai di level "hilang ketertarikan akan dunia". Akan kulantunkan padamu beberapa nyanyian kerinduan mereka dalam bait-bait sarat makna.
"dengarlah nyanyian seruling bambu ini. Yang bersenandung kisah pilu dan perpisahan. Sejak berpisah dari asal-usulku, ratapanku membuat laki-laki dan perempuan menangis tersedu-sedu. Oh, betapa relung jiwaku terkoyak. Sebab terpisah jauh dari kekasih. Biarlah akan kuceritakan betapa pilunya cinta ini. Setiap orang yang hidup jauh dari kampung halamannya. Akan merindukan saat-saat berkumpul dengan keluarga. Maka selalu kunyanyikan nada-nada sendu, dalam setiap perjumpaan, selalu kutemani mereka, yang riang dan yang berduka"
Agar semakin sempurna, kutambahkan satu lagi kidung cinta dari Maulana. Kali ini, bait itu beliau haturkan untuk Gurunda tercinta. Yang telah hilang mengembara entah kemana. Konon dari catatan sejarah. Tidak ada yang bisa mengetahui kemana Syams Tabridzi menghabiskan sisa waktunya setelah bermaqam di Turki.
"Bila waktunya telah tiba untuk pulang. Berangkatlah dan jangan gelisah. Sebab kau masih dan selalu di sini. Wahai tiada orang yang sepertimu"
Dari cerita yang dituturkan Buya. Rupanya Syams Tabridzi adalah guru spiritual yang berhasil mengubah perjalanan Jalaludin Rumi dari yang semula bergulat dengan keilmuan fikih kepada pencari jalan Cinta.
Sebagai penutup. Aku ingin berbagi sudut pandangku setelah membaca buku ini. Di penghujung perjalanan yang diceritakan Buya. Aku menyadari, tak sekedar membahas Cinta. Ini adalah buku tentang kerinduan, yang padanya berkumpul manusia pencinta yang mengabdikan seluruh hidupnya di Jalan Cinta. Sebab selain Jalaludin Rumi dan Syams Tabridzi, dibahas pula kisah Al Qunawi (sahabat Rumi) serta Rabi'ah Al Adawiyah. Yang keseluruhan dari riwayat hidup mereka dibaktikan pada Sang MahaKasih. Kisah mereka membawaku pada satu pertanyaan yang belum berhasil kupecahkan sampai tulisan ini lahir. Lantas saat ini bagaimana hubunganku dengan-Nya? Cinta seperti apa yang sudah berhasil kupersembahkan? Cinta yang masih terbalut rindu fanakah? Cinta yang masih terselubung harap pada balasan Surga-Neraka kah? Atau cinta dari seseorang yang menyerahkan seluruh darinya pada yang dia cintai?
Bagaimanapun bentuk cintaku hari ini, Semoga masih pantas untuk dipersembahkan. Mungkin tak akan pernah layak bersanding dengan para Pencinta lainnya. Tapi setidaknya, ada sebongkah cinta dariku yang mengisi ruang di A'rasy-Nya.
Semoga kalian juga ya.
Komentar
Posting Komentar